Diantrian check in, ia melihat ada perempuan yang memakai sepatu TOMS warna merah. Iseng-iseng Blake bertanya, sepatu apa yang kaupakai. Dengan semangat, bahkan menarik Blake ke luar antrian, menceritakan tentang TOMS. Bahwa saat ia membeli sepasang sepatu TOMS, itu artinya ia menyumbang sepasang untuk anak-anak yang tak punya sepatu.
MarquisMills Converse, pemilik sekaligus pendiri dari merek sepatu ini pada tahun 1908 tepatnya di Kota Malden, Massachussets, Amerika. Awal didirikannya menggunakan nama perusahaan Converse Rubber Shoe Company. Pada awal penjualannya, dikisahkan bahwa, Marquis hanya menjual sepatu winterized yang diperuntukkan untuk anak-anak, lelaki dan
Artimimpi hak sepatu warna merah patah keduanya. Ada sebuah penafsiran dikala telah bermimpi yang berkaitan dengan mimpi hak sepatu warna merah patah keduanya, biasanya penjelasan mimpinya terkait mengenai suasana luar biasa senang. meski demikian cerita di mimpi ini menjadikan penjelasan mimpinya berbeda sekali tergantung siapa yang memimpikannya.
Laurasuka sepatu baru. Ia suka sekali jika diajak pergi ke toko sepatu dan memilih-milih sepatu kesukaanya. Lalu ia akan berjalan pulang ke rumah memakai sepatu barunya sambil membawa pulang sepatu lamanya di dalam dus. Suatu hari mama berkata," Laura, ujung sepatumu sudah tipis dan bagian tumitnya licin. Ayo, pakai mantelmu.
Eventyr og Historier. Andet Bind. 1863. ). Ceritanya tentang seorang gadis yang dipaksa menari terus menerus dengan sepatu merahnya. "The Red Shoes" telah diadaptasi di berbagai media termasuk film. Kapak miring tersebar di Cina barat daya, Indocina, dan Indonesia. Ada kapak batu dan kapak perunggu.
Apakahkalian tahu, kalau cerita dongeng itu termasuk ke dalam narrative text? Tentang legenda yaitu cerita rakyat ataupun . Mitos adalah cerita yang bredar di masyarakat biasanya bercerita tentang hal hal yang berhubungan dengan gaib dan tidak masuk akal contohnya . Il y a 4 jours. Berbagai macam dongeng, cerita rakyat, legenda, dan .
gAwf774. Alkisah, dahulu kala hiduplah seorang gadis kecil yang cantik jelita. Dia tinggal disebuah desa dengan kehidupan yang sangat miskin. Ketika musim panas tiba, gadis kecil itu terpaksa bertelanjang kaki karena tak punya sepatu yang layak dan ketika musim dingin tiba, dia hanya bisa pasrah memakai sepatu kayu yang kebesaran hingga membuat kaki kecilnya menjadi merah karena kedinginan. Di tengah pedesaan tempatnya tinggal, hiduplah seorang pembuat sepatu dan istrinya, kala itu sang istri sedang membuat sepasang sepatu merah dari selembar kain tua. Terlihat agak lusuh dan tidak terlalu bagus, namun pasti sangatlah berguna untuk gadis kecil bernama Karen itu ujar sang istri kepada suaminya. Karen pun menerima sepatu itu dengan senang hati, dia memakainya pertama kali di pemakaman ibunya. Dan sayangnya sepatu itu terlihat sangat kontras ketika dipakai di acara pemakaman, tapi mau bagaimana lagi, Karen tidak punya sepatu lain, lalu dengan berat hati dia terpaksa melepaskan sepatu itu dan kembali berdiri di belakang peti ibunya. Lalu tiba-tiba datanglah sebuah kereta kuda, diatasnya duduk seorang wanita tua, dia melihat kearah Karen, dan merasa kasihan pada gadis yang kini telah yatim piatu itu. Lalu sang wanita tua berkata kepada pendeta "Permisi, bolehkah aku mengadopsinya? jika boleh, maka aku akan merawat gadis kecil itu dengan baik." Karen mengira wanita itu melakukannya karena ingin mendapatkan sepatu merah miliknya, tapi wanita tua itu berkata kalau dia salah, menurutnya sepatu merah itu terlihat mengerikan juga jelek, dan karena itu juga ketika dia membawa Karen pulang, dia langsung membakar sepatu merah itu. Karen yang sekarang adalah seorang gadis cantik yang berpenampilan rapi dan bersih, dia diajarkan membaca dan menjahit, dan menurut orang-orang di sekitarnya, dia terlihat sangat manis. Namun cermin berkata lain, "Kamu lebih dari manis-kamu sangatlah cantik." Suatu hari, Ratu yang sedang berkeliling di daerah kerajaan menyinggahi kota tempat Karen tinggal, Ratu membawa serta seorang putrinya. Semua orang, termasuk juga Karen, ramai-ramai menuju istana, tempat dimana putri kecil itu tinggal, dia memakai gaun putih yang indah, berdiri di depan jendela, dan menyapa semua orang yang melihatnya. Dia tidak memakai mahkota emas atau iring-iringan ala kerajaan, tetapi dia memakai sepasang sepatu merah yang sangat indah dan terlihat jauh lebih cantik daripada sepatu merah yang diberikan oleh istri sang pembuat sepatu. Tak ada yang lebih bagus di dunia ini selain sepatu merah yang ia pakai! Karen kini sudah beranjak remaja, dia menerima banyak baju baru dan juga sepatu baru. Karen pun mengunjungi pembuat sepatu yang terkenal di kota untuk menempa sepatu baru. Di ruangan itu terlihat banyak sepatu yang sangat indah, tapi sayang sang pembuat sepatu itu tidak bisa melihat terlalu jelas. Jadi dia tidak tahu betapa indahnya sepatu-sepatu yang telah ia buat. Diantara semua sepatu yang ada, ada sebuah yang sangat menarik hati Karen. Yaitu sepatu yang persis sama dengan yang Putri pakai. Sepatu merah yang cantik sekali! Namun sang pembuat sepatu menjelaskan pada Karen, jika sepatu itu adalah pesanan seorang Count untuk putrinya sendiri, dan ukurannya tak akan pas di kaki Karen. "Aku rasa itu dibuat dari kain yang sangat bagus kan?" tanya sang wanita tua "Sepatu itu terlihat sangat berkilauan." "Ya, sepatu itu sangat berkilauan," ujar Karen. Saat Karen mencobanya, ternyata sepatu itu sangat cocok untuknya, merekapun langsung membelinya. Tapi sang wanita tua tidak tahu, mengapa sepatu itu berwarna merah, andai saat itu ia tahu, dia pasti tak akan mengizinkan Karen memakainya seperti sekarang ini. Di hari pembaptisan, ketika Karen hadir di gereja, semua pandangan dari depan pintu gereja sampai ke tempat paduan suara hanya tertuju padanya, mereka seperti tersihir dan melihat sepatu merah yang dikenakan Karen. Saat semuanya seperti terhipnotis, suara dari Pendeta-lah yang menyadarkan mereka kalau acara akan dimulai, dia mulai menyentuh kepala Karen untuk segera membaptisnya atas nama Tuhan, dan berkata pada Karen kalau sekarang dia telah diangkat menjadi seorang Kristiani. Suara organ kini menggema diseluruh ruangan, dan suara indah dari anak-anak yang bernyanyi telah menyatu dengan suara para orang tua yang berdoa, namun Karen tidak peduli, dia hanya sibuk dengan sepatu merah indahnya, dia menggerak-gerakkan kakinya untuk melihat betapa berkilaunya sepatu merah itu. Sang wanita tua mendengar dari orang-orang kalau Karen hanya sibuk dengan sepatu merahnya sendiri saat berada di gereja, itu adalah tindakan yang sangat tidak sopan dilakukan, dan saat itu Karen dihukum dengan hanya boleh menggunakan sepatu hitam saat ke gereja, meskipun sepatu hitamnya sudah jelek semua. Di Minggu selanjutnya Karen harus menghandiri Communion. Karen memilih-milih sepatu yang ada, dia melihat ke sepatu hitam, lalu... merah. Melihat ke yang hitam, lalu merah lagi. Dan dia memutuskan untuk tetap memakai yang merah. Matahari bersinar sangat terik, Karen dan sang wanita tua memilih melewati kebun jagung yang agak berdebu dan tidak terlalu silau. Di depan pintu gereja, ada seorang tentara tua yang telah lumpuh, dia memiliki janggut yang sangat panjang, lebih ke merah-merahan daripada putih, terlihat sangat aneh, dia menundukkan badan dan berkata kepada sang wanita tua "Maukah anda bila sepatunya saya bersihkan?" Lalu Karen segera menyodorkan sepatunya untuk dibersihkan. "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari ini!" kata sang tentara lumpuh. "Duduklah, ketika kau akan menari." ujar sang tentara tua kepada sepatu itu dan dia mulai membersihkannya. Lalu sang wanita tua memberikan dia uang dan masuk ke gereja bersama Karen. Semua orang yang ada di dalam gereja lagi-lagi hanya tertuju kepada sepatu Karen. Ketika Karen menunduk di depan Altar dan melihat kebawah untuk mengambil cawan emas, dia tertuju kepada sepatu merahnya sendiri. Dia merasa terhanyut sampai-sampai lupa melantunkan Psalm dan lupa mengucapkan "Lord's Prayer." Kini semua orang telah beranjak keluar dari gereja, dan sang wanita tua melangkah masuk ke dalam kereta kudanya. Karen mengangkat kakinya untuk masuk ke dalam juga, namun sang tentara tua tiba-tiba datang dan berkata "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari mu!" dan Karen tak bisa menolak paksaannya untuk menari beberapa langkah, dan ketika dia mulai menari, kakinya terus melanjutkan. Rasanya seperti sang sepatu memiliki kekuatan untuk mengendalikan kakinya. Dia terus menerus menari tanpa henti di dalam gereja, berputar ke sudut ruangan satu dan lainnya, dia tak bisa menghentikan kakinya sendiri. Sang Kusir mengejarnya dan menahannya. Dia membawa Karen masuk ke kereta kuda namun kaki Karen tetap tak bisa berhenti menari, dia menendang kesana kemari hingga mengenai sang wanita tua. Sampai akhirnya mereka melepaskan sepatu merah itu dari kaki Karen, dan kakinya baru bisa berhenti bergerak saat itu. Saat sampai di rumah, sepatu itu disimpan rapi ke dalam rak. Namun Karen tetap tak bisa berhenti memikirkannya. Beberapa saat kemudian, sang wanita tua jatuh sakit, dan dokter berkata kalau ia tak akan bisa bangun lagi dr tempat tidur. Dia harus dirawat dan diasuh, dan kewajiban ini tak lain tak bukan adalah milik Karen. Tapi saat itu, Karen bingung, ada sebuah pesta besar yang dihelat di tengah kota, dan Karen diundang untuk datang. Dia melihat kepada sepasang sepatu merah dan meyakinkan dirinya sendiri kalau tak ada salahnya jika ia memakai sepatu merah itu, toh tidak ada yang akan terluka saat ini, dan dia berangkat pergi ke pesta dan mulai berdansa. Tapi ketika ia ingin berdansa ke kanan, sang sepatu malah membawa kakinya ke kiri, dan ketika dia ingin berdansa ke atas, sang sepatu malah membawa kakinya ke bawah. Keluar ke jalan dan melangkah keluar dari gerbang kota. Dia menari dan terus dipaksa untuk menari, jauh ke dalam hutan yang gelap. Dan seketika sesuatu yang bercahaya terang terlihat bersinar diantara pepohonan, dia mengira ini adalah cahaya bulan tetapi benda itu memiliki wajah! Lalu terlihatlah sang tentara tua dengan janggutnya yang merah duduk dan menganggukkan kepalanya "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari itu!" Kini Karen ketakutan, dia ingin segera membuang sepatu merah itu, namun tak bisa karena terlalu lekat di kakinya. Dia merobek stockingnya namun sepatu merah mengecil hingga menjadi sangat ketat di kakinya. Dia terus menari, dan dipaksa untuk terus menari melewati ladang dan padang rumput, di kala hujan atau hari yang terik, siang dan malam, dan ketika malam tiba, sepatu itu lebih menggila. Lalu dia menari menuju halaman pemakaman, namun dia tahu orang yang telah mati tidak ikut menari. Mereka punya sesuatu yang harus dilakukan dan lebih penting daripada itu. Karen ingin duduk di makam sang fakir yang ditumbuhi pohon pakis rindang, tetapi untuknya tetap tak ada istirahat ataupun kedamaian. Dan ketika dia menari menuju pintu gereja yang terbuka, disana tampak seorang malaikat berbalut jubah putih, dengan sayap mengembang dari pundaknya sampai kebawah, wajahnya tampak tegas dan serius dan dia memegang sebuah pedang besar yang bercahaya. "Menarilah semampumu," katanya, "menarilah dengan sepatu merahmu sampai kau pucat dan demam, sampai kulit kakimu mengelupas dan kau menjadi tulang belulang! Menarilah dari pintu ke pintu, dimana anak-anak dengan kesombongan dan kejahatan itu hidup, lalu kau menunjukkannya dan mereka akan takut kepadamu! Menarilah semampumu, menarilah!" "Aku tidak mau seperti ini, kumohon malaikat, ampuni aku..." tangis Karen. Tapi dia tak bisa mendengar apa yang malaikat itu jawab, karena sepatu itu telah membawanya menjauh dari gereja, menuju padang rumput yang luas, melewati jalan-jalan dengan membuatnya terus menari. Di suatu pagi dia menari melewati tempat yang sangat ia tahu, yaitu rumah sang wanita tua, tempat itu sedang berkabung, mereka menyanyikan Kidung di dalam, dan sebuah peti mati yang dihiasi dengan bunga terlihat. Dan saat itu Karen tahu ia telah ditinggalkan oleh sang wanita tua dan dikutuk oleh malaikat Tuhan. Dia terus menari dan dipaksa menari di tengah kegelapan malam. Sepatu merah menginjakkan kakinya diatas duri dan tunggul sampai kaki Karen menjadi berdarah-darah, dia menari menjauh, menuju sebuah rumah kecil di dalam hutan. Dia tahu, disana hiduplah seorang tukang jagal, Karen mengetukkan jemarinya ke jendela rumah itu dan berkata "Keluarlah, tolong keluarlah tuan! Aku tak bisa masuk karena sepatu ku membuatku terus menari." Lalu sang tukang jagal menjawabnya "Saya tidak tahu siapa anda, tapi saya suka memenggal kepala orang yang jahat dan sepertinya sekarang tanganku kesemutan untuk segera melakukannya." "Tolong jangan penggal kepala ku!" ujar Karen, "aku tak akan bisa menebus dosa-dosaku. Tapi cukup potong kakiku saja." Lalu Karen mengakui semua dosa-dosanya, dan sang tukang jagal mengayunkan kapaknya ke kaki Karen untuk melepaskan sepatu merah itu, namun sepatu merah membawa lari kaki kecil Karen masuk ke dalam hutan. Sang tukang jagal yang merasa kasihan, mengukirkan kaki kayu untuk Karen dan membuatkannya tongkat serta mengajarkannya Kidung yang selalu dinyanyikan oleh orang-orang yang ingin bertaubat. "Kini, aku sudah cukup sangat menderita karena sepatu merah," ujar Karen; "Aku akan pergi ke gereja sehingga orang-orang bisa melihatku lagi." Karen pun segera berangkat menuju gereja, namun saat dia tiba, dia melihat sepatu merah telah menari-nari disana, Karen sangat ketakutan dan dia segera pergi dari tempat itu. Selama seminggu dia terus bergelimang air mata, dan menangisi nasibnya, namun ketika Minggu tiba dia berkata "Aku telah sangat menderita dan berjuang dengan susah payah. Aku percaya kalau aku pantas duduk di gereja dan ikut berdoa." Lalu dia dengan sangat percaya diri berangkat ke gereja lagi namun baru saja sampai di gerbang gereja, dia telah melihat sang sepatu merah menari lebih dulu. Karen ketakutan dan segera kembali pulang untuk merenungkan semua dosa-dosanya. Dia pergi ke rumah pendeta dan memohon untuk menolongnya disana. Dia akan sangat membantu dan siap melakukan apapun yang sanggup ia lakukan, dia tidak keberatan jika tidak diupah selama dia bisa tinggal dilotengnya dan berlaku baik kepada orang lain. Istri pendeta menjadi kasihan kepadanya dan menerimanya bekerja disana. Karen sangat rajin dan banyak membantu. Di sore hari dia duduk dan mendengarkan ketika pendeta membacakan mazmur. Semua anak-anak sangat menyukainya, namun ketika mereka bertanya kenapa Karen selalu memakai rok kepanjangan dia akan menggeleng dan tidak menjawab apapun. Di suatu Minggu sore, mereka semua berangkat ke gereja, mereka bertanya kepada Karen apakah dia ingin pergi juga, dan dengan air mata menggenangi wajahnya dia memandangi tongkatnya, dia tahu dia tak akan bisa pergi. Dan ketika semua orang ingin mendengar Mazmur, dia hanya bisa menyendiri di ruangan kecilnya yang hanya terdiri dari sebuah kasur dan kursi. Disini dia membaca dengan khusyuk Alkitabnya, angin membawa serta suara organ dari gereja, dan dengan air mata berlinang dia memohon "Oh Tuhan, tolong aku." Lalu seketika, cahaya matahari menyeruak dan di hadapannya muncullah seorang malaikat berbalut jubah putih, dia terlihat sama dengan malaikat yang pernah ia temui sebelumnya di gereja. Dia tak lagi membawa pedang besar di tangannya, tapi membawa ranting berwarna hijau penuh dengan bunga mawar, dengan itu dia menyentuhkan tangannya ke atap-atap dan terbang keatas, dimana dia bisa menyentuh bintang emas. Dia menyentuh dinding dan terlihatlah sebuah tempat, dimana ada organ yang terus berdentang; disana dia melihat gambaran sang Pendeta dan istrinya serta para jemaah yang memenuhi tempat duduk yang ada di gereja serta menyanyikan Kidung-kidung indah. Karen merasa gereja itu yang mendatangi ruangannya? atau sesungguhnya dialah yang telah hadir di dalam gereja. k Karen segera duduk di bangku gereja bersama dengan orang-orang yang tinggal di rumah Pendeta dan ketika mereka berhenti menyanyikan kidungnya, mereka mengangguk dan berkata "Kamu berhak untuk datang, Karen." "Ini adalah kasih Tuhan," ujar Karen. Dan suara organ terus terdengar diiringi dengan nyanyian paduan suara gereja yang sangat merdu dan indah. Hangatnya cahaya matahari menembus jendela sampai ke bangku gereja tempat Karen duduk, hatinya dipenuhi dengan kedamaian dan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, sampai akhirnya dia melebur menjadi satu dengan cahaya itu. Jiwanya terbang terbawa cahaya menuju surga, dan disana tak ada seorang pun yang pernah menyebutkan tentang sepatu merah. NB Aku suka banget cerita ini... inspiratif dan menyadarkan kalau tak ada hal yang baik datang dari sebuah keserakahan. ^___^ So, be nice, be humble, syukuri apa yang telah dimiliki dan lakukan sesuatu hal yang sesuai dengan kondisinya, tidak ada hal baik yang datang dari bertindak semaunya. Happy Easter Someday you will be old enough, to start reading fairy tales again
Choose a language Dahulu kala ada seorang gadis yang sangat miskin yang selalu berjalan dengan kaki telanjang. Pada hari ibunya meninggal, Karen, begitulah namanya, diberi sepasang sepatu merah oleh Ny. Shoemaker. Sepatu kecil itu terbuat dari kain, tapi itu adalah sepatu terindah yang pernah dimiliki Karen. Saat Karen berjalan di belakang peti mati ibunya dengan sepatu merahnya, sebuah kereta yang luar biasa lewat. Wanita tua kaya didalam kereta melihat Karen berjalan dan mengasihaninya. “Datang dan tinggallah bersamaku, gadis manis,” katanya. Dan begitulah yang terjadi. Karen datang untuk tinggal bersama wanita tua itu dan diberi pakaian baru yang indah. Sepatu merah itu dibuang karena wanita tua itu menganggapnya mengerikan. Karen menyesal tentang itu, tetapi jauh lebih bahagia daripada sebelumnya. Suatu hari ratu datang ke kota dengan putri kecil. Semua orang datang untuk melihat sang putri. Karen juga ingin melihat gadis kecil itu sekilas. Ketika dia melihat sang putri berdiri di sana, dia melihat gadis kecil itu mengenakan sepatu merah yang indah. Sepatu putri jauh lebih cantik daripada sepatu merah yang dulu dimiliki Karen. Dia sedikit iri Kalau saja aku punya sepatu seperti itu sendiri,’ pikirnya. Beberapa tahun kemudian Karen cukup umur untuk diterima di gereja. Dia menerima pakaian baru khusus untuk tujuan ini. Wanita tua itu juga mengijinkannya membuat sepatu baru. Ditempat pembuat sepatu, Karen segera melihat sepatu merah yang indah, persis seperti yang dipakai sang putri bertahun-tahun yang lalu. Karen langsung tahu bahwa dia ingin sekali sepatu ini. Wanita tua itu tidak akan pernah menyetujuinya, tetapi karena dia tidak bisa lagi melihat dengan baik, Karen tetap memutuskan untuk membeli sepatu itu. Keesokan harinya, Karen berjalan melewati gereja dengan sepatu barunya. Tidak ada yang bisa mengalihkan pandangan dari sepatu kulit yang jelas mencolok itu. Tentunya ini bukan sepatu yang kamu pakai di gereja! Sementara itu, Karen tidak bisa memikirkan hal lain. Akibatnya, dia nyaris tidak mendengar apa yang dikatakan pendeta dan melewatkan kebaktian penting. Dia bahkan lupa berdoa. Ketika Karen keluar dari gereja dengan wanita tua itu setelah kebaktian selesai, ada seorang tentara tua berdiri di pintu. Prajurit itu melihat sepatu Karen dan berkata, “Itu sepatu untuk menari, bukan untuk ke gereja. Dia mengetuk sol sepatu. Tetap mantap saat menari’. Karen mendadak mendapat perasaan yang tak tertahankan bahwa dia harus menari. Dengan hati-hati dia melakukan satu langkah tarian dan tiba-tiba tidak bisa berhenti menari. Dia dimasukkan kedalam kereta wanita oleh para pengawas, tetapi disanapun dia tidak berhenti menari. Dia bahkan menendang wanita tua itu! Untungnya, mereka kemudian melepaskan sepatu merah dari kakinya dan kakinya menjadi tenang. Di rumah, sepatu itu langsung masuk ke lemari, tetapi Karen tidak bisa melupakan sepatu itu. Beberapa waktu kemudian, wanita tua itu jatuh sakit. Karen merawatnya sebaik mungkin, sampai suatu hari dia mendengar bahwa akan ada pesta besar malam itu. Karen memakai sepatu merahnya dan meninggalkan wanita tua itu sendirian. Tapi begitu Karen membuat satu langkah dansa, sepatu itu mengambil kendali lagi. Karen tidak bisa menahan diri untuk tidak menari. Sepatu itu membawanya jauh ke dalam hutan yang gelap. Saat itu, Karen ketakutan dan sedih. Dia mencoba melepas sepatu kecil itu, tetapi sepatu itu benar-benar tersangkut di kakinya. Dia menyesali keputusannya untuk meninggalkan wanita tua itu sendirian dan merasa sangat bersalah. Karen menari siang dan malam, melintasi ladang dan jalan, dan terkadang melintasi kota. Belum pernah sebelumnya dia merasa begitu sendirian. Suatu hari Karen menari melewati rumah algojo. “Tolong aku!” dia memanggilnya. Dan dia melakukannya. Dia memotong sepatu dari kaki Karen dan membuat kaki kayu baru yang indah untuknya. Sementara itu, sepatu terus menari, menuju cakrawala. Karen dengan cepat kembali ke kota, di mana dia menjalani kehidupan yang baik dan tenang. Dan dia tidak pernah lagi mencari pakaian cantik. Downloads Ebook PDF – Unduh dan Cetak
Siapa yang suka membacakan dongeng untuk si Kecil? Yup, membacakan dongeng merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh orangtua dengan anak-anaknya untuk menghabiskan quality time tak hanya meningkatkan kedekatan, membacakan dongeng juga memiliki banyak manfaat penting untuk anak-anak. Mulai dari meningkatkan kosa kata, menambah wawasan, hingga mempelajari nilai moral kehidupan dengan cara yang satu dongeng yang paling sering diceritakan pada anak-anak adalah dongeng tentang kehidupan di kerajaan. Ingin membacakan si Kecil tentang dongeng kerajaan?Kali ini telah menyiapkan dongeng berjudul Putri Mia dan sepatu merah ajaib, yang bisa Mama ceritakan untuk anak menjelang tidur. Yuk bacakan!1. Hiduplah seorang raja dengan ketiga putrinya yang suka Tales and Stories for KidsDi sebuah kerajaan yang jauh, terdapat seorang raja yang tinggal dengan tiga anak perempuannya yang Raja sering mengadakan pesta karena ketiga putrinya suka putri perempuannya dapat menari dengan sangat baik. Namu putri bungsunya tidak bisa menari sebaik kakak-kakak perempuannya."Kamu bisa sedikit lebih anggun ketika kamu menari, Putri Mia" kata salah satu kakaknya. Sayangnya, Putri Mia tidak bisa menari dengan anggun, meskipun dia sangat para tamu di aula dansa melihat tariannya yang aneh, dan mengolok-oloknya."Tarian macam apa ini? Mengapa dia bergerak seperti itu?" kata para tamu kerajaan yang kata-kata dari para tamu, membuat Putri Mia bersedih."Aku tidak akan pernah menari lagi!" kata Putri Mia yang sangat marah, hingga membuatnya segera meninggalkan Putri Mia bertemu dengan seorang laki-laki yang pandai menari di tengah Tales and Stories for KidsPutri Mia kemudian pergi jauh ke tengah hutan dan mengunci dirinya di sebuah rumah kayu. Ia pun kemudian melihat bintang-bintang di langit, dan berpikir bagaimana menari dengan lama kemudian, ia melihat seorang pria muda melewati rumah kayu itu. Pria tersebut menari dengan anggun dan indah di bawah sinar bulan. Gerakan tariannya membuat Putri Mia terkagum-kagum dan mengintip dari sela-sela tidak berhati-hati, badan Putri Mia mendorong pintu hingga membuatnya terjatuh."Aaah!" teriak Putri Mia yang jatuh itu pun berhenti menari dan mata mereka bertemu."Apakah kau baik-baik saja tuan putri?" tanya pria itu."Ya, aku baik-baik saja," jawab Putri Mia sambil membersihkan kotoran tanah di Mia tidak bisa menahan diri dan bertanya kepada pria itu bagaimana dia bisa menari dengan sangat Pria tersebut ternyata adalah pembuat sepatu ajaib yang bisa mengabulkan Tales and Stories for KidsPria itu kemudian menunjukkan sepatu yang dia kenakan."Saya pembuat sepatu, saya menggunakan bahan berharga dan membuat sepatu dansa ajaib. Dengan cara itu saya bisa menari dengan bebas di hutan setiap malam," kata pria itu."Wah aku tidak percaya! Aku membutuhkan pembuat sepatu sepertimu untuk membuatku pandai menari" kata Putri Mia dengan sepatu itu kemudian mengeluarkan tiga pasang sepatu ajaib dari tasnya dan meletakkannya di depan Putri Mia."Tutup matamu tuan putri. Buat permintaan dan pilih salah satu dari tiga sepatu ajaib ini untuk keberuntunganmu. Tapi ingat, setiap sepatu memiliki satu aturan besar. Jika tidak mengikuti aturan itu, sepatu dapat melakukan sihir apa pun." kata pembuat Picks4. Putri Mia kemudian mengucapkan permintaannya dan memilih sepasang sepatu Tales and Stories for KidsPutri Mia segera menutup matanya erat -erat. Pembuat sepatu di sisi lain mengeluarkan tiga sepatu ajaib mana yang akan dipilih."Putri Mia, sekarang kau dapat mengucapkan permintaanmu dan memilih sepasang sepatu." kata pembuat sepatu."Oh tolong biarkan aku menjadi gadis penari paling anggun di pesta," kata Putri Mia sambil menunjuk pada sepatu berwarna merah cerah dengan Mia pun membuka matanya."Ambil ini milikmu sekarang. Tapi kau harus tahu aturannya. Tuan putri tidak boleh menggunakan sepatu ini untuk menari saat muncul bulan purnama. Jika melakukan sebaliknya, maka kau tidak bisa melepas sepatu ajaib ini lagi," ujar pembuat Mia dengan antusias mengambil sepatu ajaib itu dan pergi ke Saat menggunakan sepatu merah ajaibnya, Putri Mia dapat menari dengan anggun di aula Tales and Stories for KidsKedua kakaknya sangat terkejut melihat saudara perempuan mereka, Putri Mia, yang begitu bersemangat dan bahagia."Mia darimana saja kamu? dan itu apa yang ada di tanganmu?" tanya kakak sulungnya."umm...umm...bukan apa-apa hihi" jawab Putri Mia sambil memeluk sepatu hari kemudian, raja kembali mengundang raja dan ratu di kerajaan lainnya untuk berpesta di rumahnya. Para tamu pun kembali berkumpul di aula istana. Terlihat kedua kakaknya sangat anggun menari dengan gaun yang Mia kemudian mengenakan sepatu merah ajaib itu. Ia mulai menari dengan anggun di aula menari dengan sangat indah dan mengikuti irama lagu dengan sangat lembut. Penampilan Putri Mia membuat para tamu mengaguminya."Luar biasa, begitu anggun!" ucap para tamu."Wow! Dia menari dengan sangat indah" kata tamu Terlalu asyik menari membuat Putri Mia melupakan aturan sihir dari sepatu merah Tales and Stories for KidsTerlalu asyik menari membuat Putri Mia tidak melihat keadaan langit di luar istana. Ia mengira bahwa tidak akan terjadi bulan purnama pada saat itu. Namun, tanpa disangka, bulan purnama Putri Mia menari, ia perlahan mulai menghilang hingga tersisa hanya sepatu ajaibnya yang terlihat menari. Semua tamu di aula mulai berteriak ketakutan dan melarikan diri."Mengapa sepatu ini bergerak sendiri?!" kata tamu yang terkejut Mia kemudian membuka matanya ketika semua orang berteriak. Tetapi dia tidak bisa mengerti apa yang terjadi. Ia pun berjalan dan berhenti di depan cermin besar di ruang tamu. Putri Mia tidak bisa melihat dirinya, hanya sepatu merahnya yang tampak di cermin!"Mengapa aku jadi tidak terlihat?" kata Putri Mia sambil berlari ke arah jendela dan melihat adanya bulan purnama."Aku tidak mengikuti aturan sepatu, sekarang mereka menempel di kakiku! Aku harus menemukan pembuat sepatu!" kata Putri Mia yang Putri Mia dan kedua kakaknya bertemu dengan pembuat sepatu di Tales and Stories for KidsNamun sayangnya, tak ada yang bisa mendengar suara Putri Mia. Karena semua orang sibuk meninggalkan istana dengan panik, karena sepatu merah yang terlihat bergerak ke kiri dan ke aula, Putri Mia langsung berlari keluar aula. Kedua kakaknya yang melihat ke mana sepatu itu bergerak, mengikutinya ke luar aula. Hingga akhirnya ketiga putri itu sampai di hutan yang penuh kegelapan tiba di dekat rumah kayu, mereka melihat pria pembuat sepatu yang menari dengan baik."Hmm sepatunya mirip seperti sepatu mia, ditambah tasnya penuh sepatu" kata salah satu perempuan mia bertanya kepada pembuat sepatu untuk meminta bantuan. Namun pembuat sepatu itu mengatakan bahwa Putri Mia harus menunggu sampai bulan purnama berikutnya untuk memecahkan mantra mia yang mendengarnya menjadi sangat marah dan mulai menghentakkan kakinya ke tanah tanpa Pembuat sepatu itu akhirnya membantu Putri Mia untuk mematahkan mantra Tales and Stories for KidsPembuat sepatu itu pun menjadi gusar saat melihat sepatu buatannya diinjak-injak ke tanah dengan kasar."Baiklah baiklah, ada satu solusi lagi. Tetapi jika saya melakukan itu, sepatumu akan kehilangan sihir dan menjadi sepatu biasa. Jika tuan putri setuju, hentakkan sepatumu tiga Mia berpikir bahwa lebih baik untuk kehilangan kemampuan, daripada tidak terlihat sama sekali. Ia pun kemudian menghentakkan kakinya sampai tiga kali. Saat itu juga, pembuat sepatu kemudian mengambil toples di dalam tasnya."Saya akan menaburkan debu bulan purnama ini di kakimu, dan mematahkan mantranya." kata pembuat sepatu sambil menaburkan debu-debu bulan Putri Mia akhirnya terlepas dari mantra sepatu ajaib dan hidup bahagia bersama Tales and Stories for KidsKetika pembuat sepatu menaburkan debu bulan purnama di sepatu ajaib, tubuh Putri Mia muncul kembali. Kedua saudaranya segera memeluknya."Mia kamu tidak membutuhkan mantra atau sihir untuk menari dengan anggun, karena setiap orang harus menari dengan bahagia dan menjadi diri sendiri" kata kedua kakaknya."Iya kak, kamu benar. Terima kasih pembuat sepatu, terima kasih kak, terima kasih hari itu si Bungsu, Putri Mia, menari dengan caranya sendiri seperti yang selalu dia inginkan. Ia pun bahagia karena bagaimana pun juga, sang Papa dan kakak-kakaknya, akan terus disampingnya dan bahagia bersama itulah dongeng anak yang berjudul Putri Mia dan sepatu merah ajaib. Dari kisah ini, Mama dapat mengajarkan anak bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahannya juga tak perlu mengikuti gaya orang lain untuk diterima di lingkungannya. Sebab dengan menjadi diri sendiri dan percaya diri, anak dapat membuat gayanya sendiri yang khas dan jugaDongeng Anak Putri Cantik dan Pangeran Buruk RupaDongeng Anak Putri Duyung dan Kutukan Sihir JahatDongeng Anak Putri Rapunzel yang Berambut Panjang
Cerpen Anak ini akhirnya saya posting juga di blog, berhubung sudah dapat feedback dari Hujan Karya jadi rada pede, hoho. Saya masih lebih suka nulis cerpen anak, untuk cerpen dewasa hmm.. belum sempet bikin. In sya Allah akan dicoba. Silahkan masukannya yaa pembaca 🙂 Sepatu Merah Muda Dinda Oleh Monika Oktora “Bu.. sepatu merah muda Dinda mana?” tanya Dinda sambal membongkar-bongkar lemari sepatu. “Terakhir dipakai kan kemarin. Mungkin Dinda simpan di teras.” Ibu menjawab dari seberang dapur. Dinda menghambur ke teras, tapi sepatunya tetap tidak ditemukan. Dinda mencari ke halaman belakang, garasi, tapi si merah muda tidak kelihatan. Dinda pun menyerah dan terduduk di sofa. “Belum ketemu, Din?” Ibu menghampiri Dinda. Dinda menggeleng lemah. “Ya sudah, pakai saja sepatu yang lain. Nanti juga ketemu, mungkin Bik Nah membereskannya, nanti Ibu tanya Bik Nah kalau dia sudah datang.” Dinda pun mengangguk lemah, walaupun dalam hati dia masih tidak rela untuk memakai sepatu yang lain. Sepatu merah muda itu adalah hadiah dari Nenek Dinda saat kenaikan kelas 2, Dinda sudah memakainya selama 2 tahun. Sepatunya sangat nyaman dan cantik. Nenek Dinda sudah meninggal sejak setahun yang lalu. Dinda merasa sangat kehilangan. Setiap memakai sepatu pemberian neneknya, Dinda merasa seolah-olah melihat senyum Nenek. Ah.. Dinda jadi kangen Nenek. Dinda sudah mencari sepatunya di semua tempat di rumahnya, tapi sepatunya itu belum juga ditemukan. Dinda terpaksa mengambil sepatu yang lain, sepatu warna hitam berpita putih untuk dipakai ke acara ulang tahun Fani, sahabatnya. * “Dinda, ini sepatunya. Ternyata Bik Nah menjemurnya di atas. Katanya sepatunya kemarin basah setelah kamu kehujanan sepulang sekolah” Ibu menyambut Dinda di rumah sambal menunjukkan sepatu merah muda itu. “Makasih Ibu,” Dinda memeluk ibu. “Din, kalau sepatunya basah masih suka Dinda pakai ya?” Ibu bertanya dengan lembut. Dinda mengangguk pelan, takut Ibu mengomel karena Dinda memakai sepatu basah. Ibu menghela nafas, Ia tahu ini sulit untuk Dinda untuk melepaskan sepatu tersebut, tetapi Ia harus memberi tahu Dinda untuk kebaikannya. “Dinda.. sepatu merah muda Dinda sebenarnya sudah sempit kan, sudah 2 tahun Dinda pakai. Ibu perhatikan kakimu jadi lecet-lecet karena memakai sepatu yang sudah kesempitan. Mungkin sudah saatnya kamu simpan sepatunya. Dinda juga sudah punya sepatu lainnya kan yang lebih baru.” Ibu memakai kata “simpan” bukan “buang” karena Ibu tahu Dinda sangat menyayangi sepatu merah mudanya. Dinda terdiam, “Iya bu.. tapi, Dinda sangat suka sepatu yang dikasih Nenek.” Kata anak berusia 9 tahun itu terbata-bata. “Ibu mengerti sayang, Nenek juga pasti bahagia Dinda selalu pakai sepatu pemberian Nenek. Tapi Nenek juga pasti sedih kalau tahu kakimu jadi lecet seperti ni.” Dinda hanya mengangguk pasrah, tapi dalam hati dia masih tidak rela untuk menyimpan begitu saja sepatunya. * “Dinda, bisa tolong belikan lotek di Warung Yu Ratri? Ibu belum sempat masak. Kita makan siang dengan lotek Yu Ratri aja ya.” “Asiiik.. Dinda suka loteknya Yu Ratri.” Secepat kilat Dinda menuju Warung Yu Ratri yang hanya berjarak 300 meter dari rumahnya. Sambil menunggu Yu Ratri membuatkan lotek pesanannya, Dinda memperhatikan sekelilingnya. Warung Yu Ratri sangat sederhana, hanya berupa gerobak kecil teras rumahnya yang sempit. Yu Ratri, janda beranak dua itu, sangat pandai membuat lotek, gado-gado, dan rujak. Dengan berjualanlah Yu Ratri bisa menghidupi keluarganya. Hampir semua orang di komplek menjadi langgananan warungnya. Tiba-tiba mata Dinda melihat Aya, putri bungsu Yu Ratri yang masih kelas satu SD. Aya sedang siap-siap berangkat sekolah. Jadwal sekolahnya memang siang. “Bu, Aya sekolah dulu ya.” Kata Aya sambail mencium tangan ibunya. “Iya, Nak hati-hati.” Yu Ratri melambai pada Aya. Sekolah Aya tidak jauh dari komplek, hanya sekolah negeri sederhana, tapi Aya sudah berani berangkat sendiri. “Yu, Aya kok sekolah pakai sandal?” Tanya Dinda. “Oh iya itu sepatunya sudah jebol beberapa minggu yang lalu. Yu mau belikan yang baru tapi tabungannya tidak cukup karena sebelumnya baru saja membelikan Aya dan kakaknya buku sekolah. Minggu depan baru mau beli.” Yu Ratri menjelaskan sambal mengulek bumbu lotek. “Memang sama sekolahnya gak papa, Yu?” Dinda penasaran. “Untunglah kata gurunya ngerti.” Dinda termenung dan teringat kata-kata Neneknya. ”Berbuat baik yang paling utama itu adalah ketika kamu memberikan barang yang paling kamu sayangi untuk orang yang membutuhkan.” Tiba-tiba Dinda merasakan suatu dorongan dalam hatinya, “Yu Ratri, sebentar ya Dinda pulang dulu nanti kembali lagi sekalian ngambil pesanan.” Dinda langsung menghambur ke rumah. Begitu sampai di rumah, Ibu sangat keheranan, “Lho, kok cepat sekali beli loteknya, Din?” “Belum bu, sebentar..” Dinda tergesa mengambil sepatu kesayangannya, tanpa memedulikan ibunya yang keheranan. “E-eeh.. Mau ke mana lagi sayang?” “Mau ngasih sepatu ini untuk Aya bu, dia gak punya sepatu, kasihan ke sekolah cuma pakai sandal. Mungkin sepatu ini akan lebih berguna untuk Aya. Dinda juga gak perlu membuangnya, Dinda bisa melihat sepatu ini setiap ke Warung Yu Ratri, dan Dinda yakin nenek di sana juga pasti senang. Udah ya Dinda pergi lagi, Bu” Dinda menjelaskan panjang lebar sambal tergesa berlari. Seketika hati ibu menghangat, Ah.. Dinda sudah semakin dewasa. ***
Sebuah dongeng dari >>Diterjemahkan dari cerita yang ditulis HANS CHRISTIAN ANDERSEN berjudul THE RED SHOES PS Baru kali ini coba menerjemahkan cerita, mungkin masih sangat banyak kekurangan. Dan untuk beberapa kalimat memang tidak terlalu sama dengan aslinya, karena sengaja saya sesuaikan pemilihan katanya atau ada beberapa potong frase yang saya modifikasi, supaya lebih mudah dipahami dalam versi bahasa Indonesia, dengan tanpa mengubah alur dan isi cerita. Semoga berkenan membacanya, terima kasih. ^_^ Hiduplah seorang gadis kecil yang sangat cantik dan manis, di setiap musim panas ia terpaksa harus berlari dengan kaki telanjang, dia sangat miskin. Dan di setiap musim dingin ia mengenakan sepatu kayu yang kebesaran. Punggung telapak kakinya yang mungil memerah, itu tampak menyedihkan. Di tengah desa ada seorang wanita tua pembuat sepatu, ia duduk sambil menjahit sepatu, seindah yang ia bisa. Ia membuat sepasang sepatu kecil yang terbuat dari potongan kain berwarna merah. Sepasang sepatu itu tidak terlalu cantik, namun ia menjahitnya dengan sepenuh hati. Sepasang sepatu yang akan diberikan kepada gadis kecilnya. Gadis kecil itu bernama Karen. ** Pada hari di mana ibunya dimakamkan, Karen mengenakan sepasang sepatu berwarna merah untuk pertama kalinya. Sepasang sepatu berwarna merah mungkin tak pantas digunakan pada suasana berkabung namun ia tak punya pilihan lain. Tanpa mengenakan kaus kaki ia berjalan mengikuti iringan peti mati yang terbuat dari anyaman jerami. Dalam perjalanan seusai pemakaman itu, sebuah kereta yang megah melaju dan seorang wanita tua duduk di dalamnya. Sang Ratu memandangi si gadis kecil dan nalurinya merasa kasihan lalu ia bicara pada kusirnya, “Berhenti di sini, dan bawa gadis kecil itu ke sini. Aku ingin mengajaknya tinggal denganku.” Karen percaya semua yang terjadi pada dirinya berkat sepatu merahnya. Sayangnya, Sang Ratu merasa sepasang sepatu itu sangat buruk dan Sang Ratu tak menyukainya, lalu ia membakarnya. Karen diberikan pakaian-pakaian bersih dan cantik, ia juga belajar membaca dan menjahit. Orang-orang di kerajaan menyukai gadis kecil yang manis ini, sebuah cermin pun mengatakan. “Kau lebih indah, kau lebih cantik dari apa pun yang kulihat.” Namun Karen tetap merindukan sepatunya. Suatu hari Sang Ratu pergi dengan kereta kudanya ke suatu tempat. Ia kembali bersama seorang anak gadis yang sebaya dengan Karen. Anak gadis itu adalah seorang putri, yang tinggal di kerajaan lain. Ketika ia sampai seluruh penghuni kerajaan menghambur memenuhi kastil untuk memberi penghormatan, Karen juga berada di sana. Sang putri berdiri di jendela mengenakan gaun putih yang lembut, ia menatap ke luar dengan mata mungilnya. Ia sedang tidak berdiri di kereta yang megah ataupun mengenakan mahkota emas, namun ia mengenakan sepasang sepatu mewah yang terbuat dari kulit domba. Sepasang sepatu itu tampak lebih cantik dari sepatu Karen yang dibuat Wanita Tua Pembuat Sepatu. Tetapi bagi Karen di dunia ini tak ada yang bisa dibandingkan dengan keindahan sepatu merahnya. ** Karen tiba pada saat pembaptisan. Ia mendapat pakaian baru dan sepatu baru. Karen datang ke rumah seorang pembuat sepatu bangsawan di kota, mengukur kaki mungilnya untuk dijahitkan sebuah sepatu baru. Dinding ruangan rumah si pembuat sepatu dihiasi dengan cermin-cermin besar, dan rak sepatu memajang sepatu-sepatu cantik dan mewah. Semua terlihat menarik. Namun seiring usianya Sang Ratu tak lagi bisa melihat dengan jelas, ia sudah rabun, keindahan corak dan warna sepatu-sepatu itu pun luput dari penglihatannya. Di antara deretan sepatu di dalam rak terdapat sepasang sepatu berwarna merah, coraknya seperti sepatu milik Sang Putri tapi sepatu itu tampak sudah usang. Betapa cantiknya sepasang sepatu itu! Si pembuat sepatu juga bilang kalau sepasang sepatu itu dibuat untuk seorang anak bangsawan, namun tidak pernah ada yang memakainya. Lagi-lagi Karen teringat dengan sepasang sepatu merahnya. “Sepasang sepatu itu pasti terbuat dari kulit terbaik!” ujar Sang Ratu. “Sepasang sepatu itu tampak bersinar!” tambahnya lagi. “Ya, sepasang sepatu itu bersinar!” Ujar Karen, dan ia mencoba mengenakannya, dan membelinya. Sang Ratu tak mengetahui apa pun tentang warna sepatunya yang merah, jika saja ia tahu pasti ia takkan mengizinkan Karen untuk membawa sepatu merah itu bersamanya. Semua orang memandang pada kaki-kaki mungil Karen yang berbalut sepatu merah, dan ketika ia melangkah di altar gereja, ia merasa seperti sedang melewati sebuah area pemakaman. Sunyi. Tampak seorang pendeta beserta istrinya yang mengenakan kain ruff kaku di lehernya dan gaun panjang berwarna hitam, mata mereka terpaku pada sepasang sepatu merah Karen. Ketika tangan pendeta itu berada di atas kepalanya, dan membacakan kalimat-kalimat pembaptisan, berupa perjanjian pada Tuhan dan mengenai kewajibannya sebagai seorang Kristiani dewasa. Terdengar kumandang suara organ yang khidmat dan suara anak-anak kecil yang manis mengalunkan lagu-lagu. Tapi pikiran Karen hanya terpusat pada sepatu merahnya. Di suatu sore Sang Ratu mendengar dari seseorang bahwa sepatu yang dikenakan Karen pada acara pembaptisan adalah berwarna merah. Sang Ratu murka karena kejadian itu, dia nyaris tak mempercayai bahwa hal itu bisa terjadi. Akhirnya Sang Ratu memerintahkan Karen untuk tidak lagi mengenakan sepatu merahnya, dan Karen hanya boleh mengenakan sepatu berwarna hitam ketika ke gereja, hingga kapan pun bahkan setelah ia menjadi tua sekalipun! ** Minggu selanjutnya pada sebuah sakramen, Karen bimbang, ia memandang sepasang sepatu hitam dan merah bergantian. Dan ia memilih untuk tetap mengenakan sepasang sepatu berwarna merah. Matahari bersinar sangat cerah, Karen dan Sang Ratu berjalan bersama sepanjang jalan yang berdebu dan ditumbuhi tanaman jagung. Di depan gerbang gereja berdiri seorang prajurit tua yang membawa tongkat, berjenggot panjang yang sudah bercampur uban. Si prajurit tua membungkuk dan menundukkan kepalanya ke arah tanah, ia bertanya pada Sang Ratu apakah mungkin ada debu di sepatu Karen. Dan Karen mengulurkan kaki mungilnya. “Oh lihatnya, betapa cantiknya sepasang sepatu dansa ini!” Ujar si prajurit tua. “Kau pasti terlihat cantik ketika menari.” sang prajurit menyentuh ujung sepatu Karen. Namun Sang Ratu tampak tak senang, lalu memberi sedikit uang sedekah kepada prajurit tua itu agar tidak mengganggu lagi. Lalu Sang Ratu dan Karen melanjutkan langkahnya memasuki gereja. Semua orang di Gereja melihat ke arah sepatu merah yang Karen kenakan. Karen berlutut di depan altar, ia menautkan jemari-jemari di dekat mulutnya. Namun dalam kepala Karen tak ada hal lain selain sepasang sepatu merahnya yang terus berputar di dalam pikirannya. Hingga ia lupa menyanyikan puji-pujian, dan ia lupa untuk berdoa, “Kepada Bapak di Surga…” Kini semua orang meninggalkan gereja dan Sang Ratu masuk ke dalam kereta megahnya. Karen mengangkat kakinya untuk kemudian ikut masuk ke dalam kereta. Seketika itu seorang prajurit tua berkata, “Oh, lihatlah betapa cantiknya sepasang sepatu dansa ini!” Karen tak bisa menari, namun ketika ia memulai menggerakan satu-dua kaki-kakinya untuk menari, itu tak bisa dihentikan, kaki dan seluruh tubuhnya menari dengan indah. Seolah ada keajaiban di balik sepatunya. Karen menari di sisi jalan dekat gereja, ia tidak bisa berhenti! Kusir kereta terpaksa keluar dan berlari mengejarnya, lalu menangkap Karen untuk menghentikannya yang terus menari. Kusir kereta itu menggendong Karen untuk masuk ke kereta, namun kakinya tetap menari dengan gemulai, hingga kakinya menginjak kaki Sang Ratu. Karen melepaskan sepatunya, barulah ia bisa duduk di kursi kereta dengan tenang. Sepasang sepatu merah ajaib itu disimpan di dalam lemari yang terkunci dalam kamarnya, namun Karen tak bisa menahan diri untuk tidak melihat sepasang sepatu itu. ** Kini Sang Ratu jatuh sakit, dan kemungkinan ia takkan bisa pulih seperti sediakala. Ia harus dirawat, ia hanya berbaring di kamarnya, tidak ada yang lebih ia inginkan untuk merawatnya selain Karen. Ada sebuah pesta dansa di kota, dan Karen diundang untuk menghadirinya. Ia menghawatirkan Sang Ratu yang kemungkinan tak lagi bisa pulih, namun ia teringat kepada sepasang sepatu merahnya. Dia berpikir akan sangat berdosa jika meninggalkan Sang Ratu sekarang. Di sela rasa bimbangnya, Karen mengambil sepatunya. Meski bagaimana pun ia sangat ingin menghadiri pesta dansa itu dan menari di sana sambil mengenakan sepatu merah. Pada acara pesta dansa di kota, Karen mulai menari. Namun ketika ia akan menari ke arah kanan, sepatu itu malah bergerak ke kiri, dan ketika ia ingin menari sambil menaiki tangga di ruangan itu, sepatu itu malah membuatnya menari menuruni tangga, ke arah luar, ke jalan, keluar dari gerbang kota. Dia menari dan terpaksa menari mengikuti sepatunya hingga ke dalam hutan yang suram. Kemudian, tiba-tiba ada yang tampak bersinar di antara pepohonan, ia sedikit tenang ketika melihat rembulan. Tetapi dari balik pepohonan tampak sebuah wajah, seorang prajurit tua berjenggot merah, ia duduk di sana, menundukan kepalanya, dan ia berkata, “Oh, lihatlah betapa cantiknya sepasang sepatu dansa ini!” Karen ketakutan, ia ingin melepaskan dan melemparkan sepatu merahnya, namun sepasang sepatu itu melekat kuat di kakinya. Ia menarik kuat-kuat kaus kakinya, namun sepatu itu tetap melekat, seperti menjadi satu dengan kakinya. Ia menari dengan terpaksa, terus menari, hingga ke ladang dan padang rumput, ketika langit menurunkan hujan atau pun ketika matahari bersinar, sejak malam hingga pagi hari. Hingga datang suatu malam yang terasa sangat menakutkan. Dia menari terus, hingga sampai di sebuah gereja. Ia berpikir tentang orang mati yang tidak perlu menari, mereka pasti mempunyai sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan daripada menari. Ia berharap mendapat sebuah tempat yang damai seperti di pemakaman orang-orang miskin, di mana ditumbuhi bunga-bunga tansy. Namun bagi Karen sekarang tidaklah ada tempat damai dan waktu yang tenang. Ketika ia menari menuju ke arah pintu gereja yang terbuka, ia melihat seorang malaikat berdiri di sana. Sang malaikat mengenakan pakaian jubah putih, sepasang sayap di bahunya sangat lebar dan besar hingga menyentuh bumi, malaikat itu memiliki wajah yang sungguh menyeramkan, dan di salah satu tangannya memegang sebuah pedang yang berkilauan. “Teruslah kau menari!” ucap malaikat itu. “Menari dengan sepasang sepatu merahmu hingga wajahmu menjadi pucat dan beku!” Hingga kulitmu mengerut dan tinggal kerangka! Menarilah engkau dari satu pintu ke pintu lainnya, ke tempat anak-anak keras kepala itu tinggal. Ketukkan sepatumu keras-keras dalam tarianmu, mungkin mereka akan mendengar suaramu yang gemetar! Teruslah kau menari!” “Tolonglah aku!” Karen menangis. Namun ia tak mendengar sang malaikat menjawab apa pun. Sepatu itu masih menari membawa Karen ke arah luar pintu gereja, terus ke ladang, melewati jalan dan jembatan, dan dia tetap harus menari. ** Di suatu pagi ia menari melewati sebuah pintu yang sangat ia kenal. Dalam ruangan di balik pintu itu terdengar lagu puji-pujian, sebuah peti mati terhias bunga. Ketika Karen menatap wajah yang berada dalam peti mati, ia kini tahu bahwa Sang Ratu telah tiada. Karen merasa tak lagi memiliki siapa pun, semua orang yang ia punya meninggalkannya, dan dia telah dikutuk oleh Tuhan dan malaikat. Ia menari, terus menari, dipaksa untuk tetap menari sepanjang malam yang suram. Sepatu itu memaksanya menari di atas tumpukan batu, kulitnya tergores batu dan berdarah. Dia menari melewati padang rumput hingga tiba di sebuah rumah mungil. Di sana, ia tahu, ada seorang algojo yang siap membunuh siapa pun. Karen mengetuk jendela rumah itu dengan jari-jarinya, sambil berkata, “Kelurlah! Keluarlah! Aku tak bisa masuk ke rumahmu, sepasang sepatu di kakiku memaksaku untuk terus menari!” Dan sang algojo itu bicara, “Tidakkah kau mengetahui siapa diriku? Aku suka memukul kepala orang-orang jahat, dan sekarang aku mendengar kapakku mendesis!” “Jangan pukul kepalaku!” ucap Karen, “Jika begitu aku tak bisa bertobat dari dosa-dosaku! Namun pukul di kakiku yang mengenakan sepatu merah ini!” Karen mengakui seluruh dosa-dosanya, dan sang algojo memukul di bagian kakinya yang mengenakan sepatu merah. Sepatu itu bergerak sambil masih menari, menjauhi kaki mungil Karen, menjauh, sepatu itu menari ke arah ladang dan masuk ke dalam hutan. Laki-laki algojo itu membuat sebuah sepatu kayu untuk Karen, dan sebuah tongkat penopang. Karena ia agak kesulitan berjalan akibat kakinya yang terkena pukulan. Laki-laki itu juga menyanyikan sebuah lagu doa untuk kebaikannya. Karen mencium tangan sang laki-laki yang tadi digunakan untuk memegang kapak, ia pergi, kembali ke padang rumput. “Kini, aku sudah cukup menderita karena sepasang sepatu merah itu!” Ucap Karen. “Kini aku akan pergi ke gereja mungkin masih ada seseorang yang peduli padaku.” Karen bergegas menuju gereja, namun ketika ia sudah berada di dekat pintu gereja, ia melihat sepasang sepatu merah itu menari di depannya. Ia ketakutan dan berjalan ke arah berlawanan. Sepanjang minggu Karen tak pernah merasa bahagia, ia hanya terus-terusan mengeluarkan air mata pahit. Tetapi ketika hari Minggu tiba, ia berkata, “Baiklah, sekarang aku sudah cukup menderita dan berusaha keras! Aku sangat yakin, aku sudah layak berada di gereja seperti orang-orang yang lainnya, dan mendapatkan ketenangan kembali.” Dengan penuh semangat ia pun berangkat, tapi ia tak bisa lebih dekat ke arah pintu gereja karena ia melihat sepasang sepatu merah itu menari-nari di sana. Ia sangat ketakutan, ia berbalik, dan merintih menyesali dosa-dosanya dalam hati. Ia mendatangi seorang pendeta, dan memohon sebuah perlindungan. Ia berjanji akan menjadi anak yang rajin, melakukan apa pun semampunya, ia takkan meminta upah. Ia hanya ingin tinggal bersama pendeta itu di rumahnya, bersama orang-orang baik, untuk mendapat kedamaian. Istri sang pendeta tampak tak tega, dan menyetujui supaya Karen tinggal bersamanya. Istri sang pendeta sangat murah hati dan bijaksana. Karen duduk dan mendengarkan ketika sang pendeta membacakan Al-Kitab di suatu malam. Setelahnya, anak-anak pendeta tersebut berbincang-bincang dengan Karen. Ketika mereka berbicara tentang pakaian, budi pekerti, dan kecantikan, mereka membuat kepala Karen terasa sakit. Ia teringat masa-masa ketika masih bahagia tinggal bersama Sang Ratu. ** Pada hari minggu berikutnya, ketika keluarga sang pendeta pergi ke gereja, mereka bertanya apakah Karen tidak akan ikut pergi ke gereja bersama mereka. Karen hanya dapat memandang wajah sang pendeta dan keluarganya dengan sedih, air mata mengalir dari matanya, dan menetes mengenai tongkat yang menopang tubuhnya. Keluarga sang pendeta pergi ke gereja, Karen tetap tinggal di kamar kecilnya. Di kamar itu hanya ada sebuah tempat tidur dan sebuah kursi. Karen duduk sambil memegang buku doa, membacanya dengan khusuk, angin yang lembut berhembus menuju rongga hatinya, ia merasa tersentuh dan air mata membasahi wajahnya, ia berkata, “Tuhan… maafkan aku!” Esok harinya, saat matahari bersinar begitu cerah. Tepat di hadapan Karen, berdiri malaikat dengan jubah putih, sama dengan yang ia lihat malam itu di pintu gereja. Namun kini malaikat itu tak membawa pedangnya. Kini di tangannya hanya terdapat tangkai-tangkai hijau harum dan mawar-mawar yang merekah. Sang malaikat menyentuh langit-langit kamar Karen dengan tangkai-tangkai hijau harum dan mawar-mawarnya. Dan di mana pun ia menyapukan tangkai-tangkai hijau harum dan mawar-mawarnya di sana akan tampak bersinar keemasan seperti ditaburi bintang-bintang. Lalu malaikat itu menyentuh dinding-dinding kamar yang kemudian menjadi tampak sangat luas. Ajaib, Karen dapat melihat organ-organ yang berdenting, merasakan alunan suaranya, ia melihat lukisan-lukisan tua para pendeta dan istrinya terpajang di dinding, para jemaah gereja duduk di kursi yang nyaman, dan menyanyikan pujian-pujian dan doa-doa dari buku doa. Gereja itu telah didatangi seorang gadis miskin yang berasal dari sebuah kamar sempit, dirinya sendiri. Gadis miskin itu duduk dengan keluarga pendeta, dan ketika mereka selesai menyanyikan lagu-lagu doa dan pujian mereka menoleh, dan mereka berkata sambil mengangguk, “Kau benar-benar datang ke sini, Nak!” “Ini adalah kasih sayang Tuhan!” kata Karen. Alunan organ berdenting merdu, suara paduan suara anak-anak terdengar lembut dan manis. Sinar matahari mengalir begitu cerah dan hangat melalui jendela hingga jatuh ke bangku gereja yang diduduki Karen. Hatinya dipenuhi kehangatan sinar mentari, kedamaian dan sukacita yang membuncah. Jiwanya terbang bersama matahari berserah pada Tuhan, dan tidak ada lagi yang membicarakan soal sepasang sepatu merah. – selesai – ilustrasi
cerita tentang sepatu merah